Dalam perjalanannya, pasar modal di tanah air memiliki karakteristik berikut :
a. Dominasi asing
Sudah bukan rahasia lagi bahwa transaksi perdagangan efek di bursa lebih banyak didominasi oleh asing. Sebagai misal, nilai perdagangan saham selama tahun 1998 di BEJ anjlok dari rata-rata Rp 500 miliar menjadi hanya Rp 100 miliar lantaran hengkangnya investor asing.
b. Belum efisien
Pasar modal yang efisien adalah pasar modal dimana harga sekuritas yang diperdagangkan mencerminkan semua informasi yang relevan. Dalam pasar yang efisien, akan sangat sulit bagi pemodal untuk memperoleh keuntungan abnormal.
Penelitian yang dilakukan oleh Suad Husnan (1991) maupun Siddharta Utama (1992) terhadap efisiensi pasar modal di Indonesia terutama di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menyimpulkan bahwa BEJ tidak efisien dalam bentuk lemah (weak form test). Ketidakefisienan tersebut disebabkan oleh kondisi-kondisi yang mendukung efisiensi pasar tidak terpenuhi, ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab ketidakefisienan yaitu: pertama, tingkat likuiditas yang masih rendah dan kedua, belum terbukanya para emiten dalam mengungkapkan informasi yang benar atas perusahaannya (Manajemen dan Usahawan, Nomor 6 Tahun XXI, Juni 1992).
c. ‘Moral Hazard’
Mengambil sedikit contoh, masih terdapat kasus insider information atau cornering. Insider information terjadi dalam transaksi perdagangan saham Super Indah Makmur (1996), Super Mitory Utama (1996), Bank Mashill Utama dan Semen Gresik (1998). Sementara cornering terjadi pada saham Bank Pikko (1997).
d. Celah peraturan dan lemahnya pengawasan otoritas bursa
Mekanisme pengawasan yang dilakukan otoritas bursa terkadang dinilai masih lemah dalam mengatasi berbagai konflik. Konflik yang terjadi, biasanya lebih disebabkan oleh lemahnya regulasi ‘rambu-rambu’ kebebasan pelaku bursa untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Sebagai misal, BEJ tidak melakukan delisting terhadap Inti Indo Rayon Utama yang hampir sembilan bulan tidak beroperasi. Selain itu, tentu kita masih ingat kasus saham yang hilang yang bahkan sampai saat ini masih saja terjadi. Jika pada tahun 1996 saham yang hilang di BEJ baru sebanyak 163.000, tahun 1997 meningkat jumlahnya menjadi 2, 576 juta dan pada 1998 menjadi 30 juta.
e. Investor retail belum optimal
Selama ini, transaksi yang dilakukan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya lebih memperlihatkan gambaran investor yang berduit. Sementara, investor retail hanya punya kemampuan membeli efek dalam jumlah sedikit.
f. Isu lebih dominan ketimbang persuasi otoritas bursa dan penguasa moneter
Di pasar modal manapun, isu jelas berpengaruh terhadap pergerakan indeks. Kendati demikian, pengaruhnya dapat dibandingkan secara relatif.
Di Amerika Serikat, isu dapat ditepis seketika oleh pernyataan pengelola bursa, otoritas moneter, pemerintah maupun kongres. Namun di Indonesia, pernyataan pejabat pemerintah maupun otoritas bursa belum sepenuhnya dipercaya oleh investor. Terkadang, mereka lebih mempercayai isu yang timbul.
Sebagai contoh, harga saham Telkom pernah jatuh pada sekitar bulan Maret 1997 lantaran desas-desus yang mengatakan bahwa pemerintah akan mempersingkat hak monopoli Telkom.
g. Belum ada kontrol efektif terhadap penggunaan dana hasil penjualan saham
Idealnya, dana hasil penjualan saham dipergunakan untuk melakukan ekspansi pada core business, dan bukan untuk melakukan diversifikasi atau malah untuk membayar utang. Hal ini pernah terjadi di tahun 1996 ketika hasil penjualan saham Telkom sebesar US$ 600 juta dipergunakan untuk membayar hutang luar negeri.
h. Risiko relatif tinggi
Kendati JP.Morgan menilai peringkat risiko ekonomi (economic risk) di Indonesia telah turun dari peringkat 87 (tahun 1998) menjadi peringkat 53 (Januari 1999), penurunan peringkat tersebut bukan risiko investasi di Indonesia (termasuk di pasar modal tentunya) menjadi lebih kecil. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan seperti kasus referendum, hutang luar negeri, kemampuan pemerintahan Gus Dur, dsb.
Masih menurut JP.Morgan, rebound perekonomian dari negative growth rate akan terjadi pada penghujung tahun 2000.
Pasar Modal
Senin, 15 November 2010
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KEBERHASILAN PASAR MODAL
1. Sisi Penawaran
Keberhasilan pembangunan ekonomi telah menghasilkan kemajuan ekonomi yang cukup mengesankan khususnya dalam bidang industri dan perdagangan. Keberhasilan ini telah menciptakan peluang yang sangat besar bagi berdirinya perusahaan swasta baik domestik maupun asing. Besarnya jumlah perusahaan industri, perdagangan, maupun jasa memberikan kemungkinan yang besar untuk timbulnya banyak kebutuhan pembiayaan dan permodalan. Kebutuhan ini salah satunya dapat dipenuhi melalui pasar modal sehingga merupakan potensi penawaran efek yang cukup besar kepada masyarakat.
Sebagai gambaran dari potensi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Jumlah perusahaan yang telah go public bulan Desember 1993 adalah sebanyak 208 perusahaan sedangkan sampai dengan bulan Juni 1995 terdapat 223 perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 116,996 trilyun atau terjadi kenaikan 15 perusahaan selama periode tersebut.
2) Diversifikasi sektor usaha, perusahaan-perusahaan yang telah go public di Bursa Efek Jakarta meliputi 28 sektor usaha. Banyaknya jenis usaha ini merupakan potensi bagi pengembangan pasar modal, terlebih lagi dengan masuknya beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Bursa Efek Jakarta.
2. Sisi Permintaan
Potensi pasar modal dari sisi permintaan terhadap efek yang ditawarkan pasar modal terus mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Bertambahnya jumlah dana pensiun yang mencapai lebih dari 500 badan usaha yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.
b. Jumlah perusahaan asuransi yang mencapai lebih dari 150 perusahaan.
c. Meningkatnya investor baik individual maupun institusional lainnya.
d. Semakin bertambahnya perusahaan pengelola investasi.
e. Peningkatan investor asing baik perorangan maupun institusi yang bertindak sebagai pengelola dana (fund manager).
3. Kondisi Sosial dan Politik
Ditinjau dari segi stabilitas politik dan keamanan, Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia yang relatif stabil. Kondisi ini merupakan faktor yang cukup kondusif bagi kelangsungan investasi baik yang dilakukan oleh swasta dalam negeri maupun asing.
4. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen sampai 7 persen pertahun merupakan daya tarik bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Terlebih lagi setelah diadakan revisi terhadap sasaran pertumbuhan ekonomi Indoensia selama PJPT II yaitu sebesar 7,1 persen per tahun.
5. Aspek Hukum dan Peraturan
Permintaan sekuritas pada dasarnya mengandalkan diri pada informasi yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan yang menerbitkan sekuritas. Oleh karena itu, kebenaran informasi menjadi sangat penting, di samping kecepatan, dan kelengkapan informasi itu sendiri. Peraturan yang melindungi pemodal dari informasi yang tidak benar dan menyesatkan menjadi mutlak diperlukan dan penegakkan aturan (law enforcement) harus diterapkan dengan memberikan sanksi yang tegas.
6. Likuiditas
Dari 218 saham perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta pada bulan Desember 1994 hanya 60 persen atau 130 saham perusahaan yang benar-benar aktif diperdagangkan (Jurnal Pasar Modal Indonesia, Nomor 05/VI/Mei 1995). Hal ini mencerminkan likuiditas perdagangan saham di bursa masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa analis pasar modal selama ini, rendahnya likuiditas disebabkan oleh rendahnya kepemilikan saham yang bersangkutan oleh masyarakat (publik) yang masih berkisar antara 20 persen sampai dengan 30 persen.
7. Struktur Pemegang Saham
Sebagian besar kepemilikan saham suatu perusahaan masih dimiliki oleh pemegang saham pendiri dan hanya 20 persen hingga 30 persen yang dimiliki oleh publik. Struktur yang timpang ini menimbulkan perangkapan fungsi sebagai pemegang saham dengan fungsi dewan komisaris atau direksi. Keadaan ini sering menimbulkan kerancuan apakah direksi benar-benar bertindak untuk kepentingan perusahaan dan seluruh pemegang saham atau untuk keperluan pemegang saham pendiri.
8. Instrumen Pasar modal
Instrumen pasar modal yang ditawarkan masih sangat terbatas pada saham dan obligasi. Jenis-jenis lainnya misalnya instrumen derivatif seperti futures dan option masih belum ditawarkan walaupun saat ini sudah ada yang menerbitkan warrants dan obligasi konversi (convertible bonds).
9. Profesionalisme Pelaku Pasar Modal
Pasar modal membutuhkan dukungan profesionalisme yang tinggi bagi pihak-pihak yang melakukan investasi maupun pihak-pihak yang memberikan jasa di pasar modal. Lembaga-lembaga pendukung pasar modal seperti BAPEPAM, Bursa Efek, akuntan publik, underwriter, wali amanat, notaris, konsultan hukum, dan lembaga kliring (clearing house) perlu bekerja dengan profesional dan dapat diandalkan sehingga kegiatan emisi dan transaksi di bursa efek dapat berlangsung secara cepat, efisien, dan dapat dipercaya.
Keberhasilan pembangunan ekonomi telah menghasilkan kemajuan ekonomi yang cukup mengesankan khususnya dalam bidang industri dan perdagangan. Keberhasilan ini telah menciptakan peluang yang sangat besar bagi berdirinya perusahaan swasta baik domestik maupun asing. Besarnya jumlah perusahaan industri, perdagangan, maupun jasa memberikan kemungkinan yang besar untuk timbulnya banyak kebutuhan pembiayaan dan permodalan. Kebutuhan ini salah satunya dapat dipenuhi melalui pasar modal sehingga merupakan potensi penawaran efek yang cukup besar kepada masyarakat.
Sebagai gambaran dari potensi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Jumlah perusahaan yang telah go public bulan Desember 1993 adalah sebanyak 208 perusahaan sedangkan sampai dengan bulan Juni 1995 terdapat 223 perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 116,996 trilyun atau terjadi kenaikan 15 perusahaan selama periode tersebut.
2) Diversifikasi sektor usaha, perusahaan-perusahaan yang telah go public di Bursa Efek Jakarta meliputi 28 sektor usaha. Banyaknya jenis usaha ini merupakan potensi bagi pengembangan pasar modal, terlebih lagi dengan masuknya beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Bursa Efek Jakarta.
2. Sisi Permintaan
Potensi pasar modal dari sisi permintaan terhadap efek yang ditawarkan pasar modal terus mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Bertambahnya jumlah dana pensiun yang mencapai lebih dari 500 badan usaha yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.
b. Jumlah perusahaan asuransi yang mencapai lebih dari 150 perusahaan.
c. Meningkatnya investor baik individual maupun institusional lainnya.
d. Semakin bertambahnya perusahaan pengelola investasi.
e. Peningkatan investor asing baik perorangan maupun institusi yang bertindak sebagai pengelola dana (fund manager).
3. Kondisi Sosial dan Politik
Ditinjau dari segi stabilitas politik dan keamanan, Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia yang relatif stabil. Kondisi ini merupakan faktor yang cukup kondusif bagi kelangsungan investasi baik yang dilakukan oleh swasta dalam negeri maupun asing.
4. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen sampai 7 persen pertahun merupakan daya tarik bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Terlebih lagi setelah diadakan revisi terhadap sasaran pertumbuhan ekonomi Indoensia selama PJPT II yaitu sebesar 7,1 persen per tahun.
5. Aspek Hukum dan Peraturan
Permintaan sekuritas pada dasarnya mengandalkan diri pada informasi yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan yang menerbitkan sekuritas. Oleh karena itu, kebenaran informasi menjadi sangat penting, di samping kecepatan, dan kelengkapan informasi itu sendiri. Peraturan yang melindungi pemodal dari informasi yang tidak benar dan menyesatkan menjadi mutlak diperlukan dan penegakkan aturan (law enforcement) harus diterapkan dengan memberikan sanksi yang tegas.
6. Likuiditas
Dari 218 saham perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta pada bulan Desember 1994 hanya 60 persen atau 130 saham perusahaan yang benar-benar aktif diperdagangkan (Jurnal Pasar Modal Indonesia, Nomor 05/VI/Mei 1995). Hal ini mencerminkan likuiditas perdagangan saham di bursa masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa analis pasar modal selama ini, rendahnya likuiditas disebabkan oleh rendahnya kepemilikan saham yang bersangkutan oleh masyarakat (publik) yang masih berkisar antara 20 persen sampai dengan 30 persen.
7. Struktur Pemegang Saham
Sebagian besar kepemilikan saham suatu perusahaan masih dimiliki oleh pemegang saham pendiri dan hanya 20 persen hingga 30 persen yang dimiliki oleh publik. Struktur yang timpang ini menimbulkan perangkapan fungsi sebagai pemegang saham dengan fungsi dewan komisaris atau direksi. Keadaan ini sering menimbulkan kerancuan apakah direksi benar-benar bertindak untuk kepentingan perusahaan dan seluruh pemegang saham atau untuk keperluan pemegang saham pendiri.
8. Instrumen Pasar modal
Instrumen pasar modal yang ditawarkan masih sangat terbatas pada saham dan obligasi. Jenis-jenis lainnya misalnya instrumen derivatif seperti futures dan option masih belum ditawarkan walaupun saat ini sudah ada yang menerbitkan warrants dan obligasi konversi (convertible bonds).
9. Profesionalisme Pelaku Pasar Modal
Pasar modal membutuhkan dukungan profesionalisme yang tinggi bagi pihak-pihak yang melakukan investasi maupun pihak-pihak yang memberikan jasa di pasar modal. Lembaga-lembaga pendukung pasar modal seperti BAPEPAM, Bursa Efek, akuntan publik, underwriter, wali amanat, notaris, konsultan hukum, dan lembaga kliring (clearing house) perlu bekerja dengan profesional dan dapat diandalkan sehingga kegiatan emisi dan transaksi di bursa efek dapat berlangsung secara cepat, efisien, dan dapat dipercaya.
SEJARAH PASAR MODAL DI INDONESIA
Dalam sejarah Pasar Modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan obligasi dimulai pada abad-19. Menurut buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Verreniging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, jual beli efek telah berlangsung sejak 1880.
Pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua ke-empat setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo.
Zaman Penjajahan
Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi.
Atas dasar itulah maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai perdagangan.
Pada saat awal terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu : Fa. Dunlop & Kolf; Fa. Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi & Co.; Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa. Wiekert & V.D. Linden; Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden; Fa. Vermeys & Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders.
Sedangkan Efek yang diperjual-belikan adalah saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan Pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya.
Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa.
Anggota bursa di Surabaya waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Sedangkan anggota bursa di Semarang waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, serta Fa. P.H. Soeters & Co.
Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan yang terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 milyar (jika di indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah + Rp. 7 triliun) yang berasal dari 250 macam efek.
Perang Dunia II
Pada permulaan tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan Efek-nya di Batavia serta menutup bursa efek di Surabaya dan di Semarang.
Namun pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda
Pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua ke-empat setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo.
Zaman Penjajahan
Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi.
Atas dasar itulah maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai perdagangan.
Pada saat awal terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu : Fa. Dunlop & Kolf; Fa. Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi & Co.; Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa. Wiekert & V.D. Linden; Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden; Fa. Vermeys & Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders.
Sedangkan Efek yang diperjual-belikan adalah saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan Pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya.
Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa.
Anggota bursa di Surabaya waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Sedangkan anggota bursa di Semarang waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, serta Fa. P.H. Soeters & Co.
Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan yang terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 milyar (jika di indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah + Rp. 7 triliun) yang berasal dari 250 macam efek.
Perang Dunia II
Pada permulaan tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan Efek-nya di Batavia serta menutup bursa efek di Surabaya dan di Semarang.
Namun pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda
FUNGSI PASAR MODAL
Tempat bertemunya pihak yang memiliki dana lebih (lender) dengan pihak yang memerlukan dana jangka panjang tersebut (borrower). Pasar modal mempunyai dua fungsi yaitu ekonomi dan keuangan. Di dalam ekonomi, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari lender ke borrower.
Dengan menginvestasikan dananya lender mengharapkan adanya imbalan atau return dari penyerahan dana tersebut. Sedangkan bagi borrower, adanya dana dari luar dapat digunakan untuk usaha pengembangan usahanya tanpa menunggu dana dari hasil operasi
perusahaannya. Di dalam keuangan, dengan cara menyediakan dana yang diperlukan oleh borrower dan para lender tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil.
Dengan menginvestasikan dananya lender mengharapkan adanya imbalan atau return dari penyerahan dana tersebut. Sedangkan bagi borrower, adanya dana dari luar dapat digunakan untuk usaha pengembangan usahanya tanpa menunggu dana dari hasil operasi
perusahaannya. Di dalam keuangan, dengan cara menyediakan dana yang diperlukan oleh borrower dan para lender tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil.
PENGERTIAN SAHAM DAN JENIS-JENISNYA
Pengertian Saham dan Jenis-jenis Saham
Surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sering disebut efek atau sekuritas, salah satunya yaitu saham.
Saham dapat didefinisikan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan tersebut (Darmadji dan Fakhruddin, 2001: 5).
Ada beberapa sudut pandang untuk membedakan saham (Darmadji dan Fakhruddin, 2001: 6) :
1. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagih atau klaim
a. Saham Biasa (common stock)
· Mewakili klaim kepemilikan pada penghasilan dan aktiva yang dimiliki perusahaan
· Pemegang saham biasa memiliki kewajiban yang terbatas. Artinya, jika perusahaan bangkrut, kerugian maksimum yang ditanggung oleh pemegang saham adalah sebesar investasi pada saham tersebut.
b. Saham Preferen (Preferred Stock)
· Saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obligasi), tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil, seperti yang dikehendaki investor.
· Serupa saham biasa karena mewakili kepemilikan ekuitas dan diterbitkan tanpa tanggal jatuh tempo yang tertulis di atas lembaran saham tersebut; dan membayar deviden.
· Persamaannya dengan obligasi adalah adanya klaim atas laba dan aktiva sebelumnya, devidennya tetap selama masa berlaku dari saham, dan memiliki hak tebus dan dapat dipertukarkan (convertible) dengan saham biasa.
2. Ditinjau dari cara peralihannya
a. Saham Atas Unjuk (Bearer Stocks)
· Pada saham tersebut tidak tertulis nama pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke investor lainnya.
· Secara hukum, siapa yang memegang saham tersebut, maka dialah diakui sebagai pemiliknya dan berhak untuk ikut hadir dalam RUPS.
b. Saham Atas Nama (Registered Stocks)
· Merupakan saham yang ditulis dengan jelas siapa nama pemiliknya, di mana cara peralihannya harus melalui prosedur tertentu.
3. Ditinjau dari kinerja perdagangan
a. Blue – Chip Stocks
· Saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.
b. Income Stocks
· Saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar dividen lebih tinggi dari rata – rata dividen yang dibayarkan pada tahun sebelumnya.
· Emiten seperti ini biasanya mampu menciptakan pendapatan yang lebih tinggi dan secara teratur membagikan dividen tunai.
· Emiten ini tidak suka menekan laba dan tidak mementingkan potensi.
c. Growth Stocks
1. (Well – Known)
· Saham – saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang mempunyai reputasi tinggi.
2. (Lesser – Known)
· Saham dari emiten yang tidak sebagai leader dalam industri, namun memiliki ciri growth stock.
· Umumnya saham ini berasal dari daerah dan kurang populer di kalangan emiten.
d. Speculative Stock
· Saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara konsisten memperoleh penghasilan dari tahun ke tahun, akan tetapi mempunyai kemungkinan penghasilan yang tinggi di masa mendatang, meskipun belum pasti.
e. Counter Cyclical Stockss
· Saham yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro maupun situasi bisnis secara umum.
· Pada saat resesi ekonomi, harga saham ini tetap tinggi, di mana emitennya mampu memberikan dividen yang tinggi sebagai akibat dari kemampuan emiten dalam memperoleh penghasilan yang tinggi pada masa resesi.
PENGERTIAN OBLIGASI DAN OBLIGASI KONVERSI
Tentang Obligasi dan Obligasi Konversi
Obligasi adalah surat pengakuan utang. Dengan kata lain obligasi bisa juga kita terjemahkan sebagai sertifikat yang berisi kontrak antara investor dan perusahaan, yang menyatakan bahwa investor tersebut atau pemegang obligasi telah meminjamkan sejumlah uang kepada perusahaan. Dan untuk, selanjutnya, perusahaan atau pihak yang menerbitkan obligasi mempunyai kewajiban untuk membayar bunga secara reguler sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Di samping kewajiban membayar bunga, penerbit pada saat jatuh tempo obligasi juga akan membayar kembali pokok pinjamannya. Jadi pada instrumen pasar modal yang bernama obligasi ini, investor bertindak sebagai kreditur, dan perusahaan sebagai debitur.
Yang menjadi karakteristik utama dari instrumen obligasi ini adalah, bahwa nilai suatu obligasi bergerak berlawanan arah dengan perubahan suku bunga secara umum. Jika suku bunga secara umum cenderung turun, maka nilai atau harga obligasi akan meningkat, karena para investor cenderung untuk berinvestasi pada obligasi.
Sementara itu, jika suku bunga secara umum cenderung meningkat, maka nilai atau harga obligasi akan turun, karena para investor cenderung untuk menanamkan uangnya di Bank. Selain oleh perusahaan penerbitan obligasi ini juga dilakukan oleh negara dan pemerintahan daerah (pemda). Yang diterbitkan oleh perusahaan atau korporasi disebut dengan corporate bond, sementara obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah disebut government bond.
Sedangkan yang diterbitkan oleh Pemda disebut dengan municipal bond. Seluruh penerbitan obligasi itu dimaksud untuk pembiayaan. Bagi perusahaan mungkin untuk membiayai ekspansi atau membiayai proyek, bagi pemerintah mungkin untuk membiayai pembangunan. Begitu juga dengan obligasi yang diterbitkan oleh Pemda, bisa saja untuk membiayai pembangunan atau proyek-proyek publik di daerahnya.
Sedangkan bagi investor manfaat yang diperoleh dalam investasi obligasi ini adalah adanya pendapatan bunga. Biasanya bunga yang diberikan berbentuk kupon, dengan pembayaran secara reguler tiga bulan dan enam bulan sekali. Persentase pembayaran bunga umumnya disepakati sebelumnya. Karenanya penerbit obligasi ada yang menawarkan bunga dengan fixed (tetap) selama penerbitannya dan ada pula yang float (mengambang) sesuai dengan tingkat bunga pasar yang berlaku. Untuk penawaran bunga secara float ini biasanya ditawarkan dengan kisaran 0,5 persen hingga 1 persen di atas bunga pasar yang berlaku.
Sama dengan saham, obligasi juga bisa diperdagangkan. Hanya saja perdagangannya tidak di lantai bursa, melainkan diluar bursa atau secara over the counter (OTC). Karena produk ini bisa diperdagangkan di pasar reguler dengan sendirinya investor berpeluang mendapatkan capital gain. Sedangkan keuntungan lainnya dalam investasi obligasi ini bahwa pemegang obligasi berhak mendapat klaim pertama apabila penerbit obligasi dinyatakan pailit. Itu dapat terjadi lantaran pemegang obligasi sama posisinya dengan kreditur, sehingga begitu perusahaan dinyatakan pailit maka investor obligasi akan memperoleh pembayaran terlebih dulu.
Di samping manfaat dan keuntungan, yang perlu diwaspadai dalam investasi obligasi ini adalah gagal bayar (default). Kegagalan dari emiten untuk melakukan pembayaran bunga serta utang pokok pada waktu yang telah ditetapkan, atau kegagalan emiten untuk memenuhi ketentuan lain yang ditetapkan dalam kontrak obligasi. Guna menghindari hal itu, disarankan sebelum berinvestasi investor terlebih dulu memperhatikan peringkat obligasi, yaitu metode penilaian akan kemungkinan gagal bayar pada obligasi.
Saat ini terdapat dua perusahaan pemeringkat efek, yaitu PT PEFINDO dan PT Kasnic Duff & Phelps Credit Rating Indonesia, yang kegiatan usahanya adalah menganalisa kekuatan posisi keuangan dari perusahaan penerbit obligasi. Peringkat yang ditetapkan berkisar dari AAA (sangat istimewa atau superior) sampai D (gagalbayar). Jika dibandingkan dengan investasi di saham, investor dapat memanfaatkan jasa pemeringkat efek dalam berinvestasi di obligasi, karena semua obligasi yang ada di pasar harus diberi peringkat. Risiko kredit (credit risks) atau risiko gagal bayar adalah risiko kerugian yang mungkin terjadi yang disebabkan oleh lemahnya kemampuan emiten dalam membayar bunga dan pokok pinjaman obligasi. Oleh karena itu pemeringkat efek mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan analisa fundamental untuk setiap Obligasi yang diterbitkan. Intinya pemeringkatan efek menekankan pada penilaian kemampuan emiten dalam memenuhi semua kewajibannya.
Setelah gagal bayar, risiko yang mungkin dihadapi adalah capital loss. Capital loss ini menjadi kerugian apabila ditransaksikan. Misalnya membeli pada 100 persen tapi kemudian menjual pada harga 95 persen. Perubahan harga obligasi itu boleh jadi karena perubahan tingkat sukubunga. Jika sukubunga naik sementara bunga obligasi yang dipegang investor tetap, sudah barang tentu harga obligasi itu di pasar sekunder akan mengalami penurunan, dan jika dijual akan berakibat capital loss. Selanjutnya disamping, default, capital loss, kerugian yang mungkin dihadapi investor adalah kemungkinan penerbit obligasi melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo. Istilahnya, Callability atau hak emiten mempunyai hak untuk membeli kembali obligasi yang telah diterbitkan. Obligasi demikian biasanya akan ditarik kembali pada saat suku bunga secara umum menunjukkan kecenderungan menurun. Jadi pemegang obligasi yang memiliki persyaratan callability berpotensi merugi, apabila suku bunga menunjukkan kecenderungan menurun. Tapi kerugian emiten itu akan ter-cover oleh kompensasi premium yang diberikan emiten
Obligasi Konversi
Yang dimaksud dengan Obligasi Konversi adalah obligasi yang dapat dikonversi menjadi saham. Karena sifatnya yang bisa dikonversi itu, obligasi konversi ini biasa juga disebut dengan obligasi tukar. Penukaran saham biasanya dengan prasarat tertentu, misalnya saat jatuh tempo, atau pada harga tertentu. Untuk dicermati dalam obligasi konversi ini adalah kecenderungan harga saham pada saat menjelang obligasi dikonversi. Misalnya ditetapkan harga konversi Rp1.000 per saham, maka pemegang obligasi dengan nilai Rp1 juta akan bisa mengkonversi menjadi 1.000 unit saham.
Kalau pada beberapa waktu sebelum penukaran harga saham di bursa ada pada kisaran Rp 1.100, maka hampir pasti pada saat penukaran pasar akan melakukan koreksi atas harga saham itu menjadi setara dengan harga konversi. Begitu pula sebaliknya, bila harga pasar saham lebih rendah, maka bisa jadi harga pasar dari saham itu akan menyamai harga konversi. Karena itu, harga konversi ini lazimnya disebutkan ketika obligasi tersebut ditawarkan, sehingga sebelum obligasi tersebut jatuh tempo, investor masih bisa menikmati pendapatan yang berupa bunga. Tapi begitu jatuh tempo maka obligasi itu harus ditukar dengan saham sesuai dengan harga yang ditetapkan.
Bagi emiten, obligasi konversi merupakan daya tarik yang ditujukan kepada para investor untuk meningkatkan penjualan obligasi. Di Bursa Efek Indonesia tidak banyak perusahaan yang menerbitkan obligasi dengan sifat konversi ini.
Di samping kewajiban membayar bunga, penerbit pada saat jatuh tempo obligasi juga akan membayar kembali pokok pinjamannya. Jadi pada instrumen pasar modal yang bernama obligasi ini, investor bertindak sebagai kreditur, dan perusahaan sebagai debitur.
Yang menjadi karakteristik utama dari instrumen obligasi ini adalah, bahwa nilai suatu obligasi bergerak berlawanan arah dengan perubahan suku bunga secara umum. Jika suku bunga secara umum cenderung turun, maka nilai atau harga obligasi akan meningkat, karena para investor cenderung untuk berinvestasi pada obligasi.
Sementara itu, jika suku bunga secara umum cenderung meningkat, maka nilai atau harga obligasi akan turun, karena para investor cenderung untuk menanamkan uangnya di Bank. Selain oleh perusahaan penerbitan obligasi ini juga dilakukan oleh negara dan pemerintahan daerah (pemda). Yang diterbitkan oleh perusahaan atau korporasi disebut dengan corporate bond, sementara obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah disebut government bond.
Sedangkan yang diterbitkan oleh Pemda disebut dengan municipal bond. Seluruh penerbitan obligasi itu dimaksud untuk pembiayaan. Bagi perusahaan mungkin untuk membiayai ekspansi atau membiayai proyek, bagi pemerintah mungkin untuk membiayai pembangunan. Begitu juga dengan obligasi yang diterbitkan oleh Pemda, bisa saja untuk membiayai pembangunan atau proyek-proyek publik di daerahnya.
Sedangkan bagi investor manfaat yang diperoleh dalam investasi obligasi ini adalah adanya pendapatan bunga. Biasanya bunga yang diberikan berbentuk kupon, dengan pembayaran secara reguler tiga bulan dan enam bulan sekali. Persentase pembayaran bunga umumnya disepakati sebelumnya. Karenanya penerbit obligasi ada yang menawarkan bunga dengan fixed (tetap) selama penerbitannya dan ada pula yang float (mengambang) sesuai dengan tingkat bunga pasar yang berlaku. Untuk penawaran bunga secara float ini biasanya ditawarkan dengan kisaran 0,5 persen hingga 1 persen di atas bunga pasar yang berlaku.
Sama dengan saham, obligasi juga bisa diperdagangkan. Hanya saja perdagangannya tidak di lantai bursa, melainkan diluar bursa atau secara over the counter (OTC). Karena produk ini bisa diperdagangkan di pasar reguler dengan sendirinya investor berpeluang mendapatkan capital gain. Sedangkan keuntungan lainnya dalam investasi obligasi ini bahwa pemegang obligasi berhak mendapat klaim pertama apabila penerbit obligasi dinyatakan pailit. Itu dapat terjadi lantaran pemegang obligasi sama posisinya dengan kreditur, sehingga begitu perusahaan dinyatakan pailit maka investor obligasi akan memperoleh pembayaran terlebih dulu.
Di samping manfaat dan keuntungan, yang perlu diwaspadai dalam investasi obligasi ini adalah gagal bayar (default). Kegagalan dari emiten untuk melakukan pembayaran bunga serta utang pokok pada waktu yang telah ditetapkan, atau kegagalan emiten untuk memenuhi ketentuan lain yang ditetapkan dalam kontrak obligasi. Guna menghindari hal itu, disarankan sebelum berinvestasi investor terlebih dulu memperhatikan peringkat obligasi, yaitu metode penilaian akan kemungkinan gagal bayar pada obligasi.
Saat ini terdapat dua perusahaan pemeringkat efek, yaitu PT PEFINDO dan PT Kasnic Duff & Phelps Credit Rating Indonesia, yang kegiatan usahanya adalah menganalisa kekuatan posisi keuangan dari perusahaan penerbit obligasi. Peringkat yang ditetapkan berkisar dari AAA (sangat istimewa atau superior) sampai D (gagalbayar). Jika dibandingkan dengan investasi di saham, investor dapat memanfaatkan jasa pemeringkat efek dalam berinvestasi di obligasi, karena semua obligasi yang ada di pasar harus diberi peringkat. Risiko kredit (credit risks) atau risiko gagal bayar adalah risiko kerugian yang mungkin terjadi yang disebabkan oleh lemahnya kemampuan emiten dalam membayar bunga dan pokok pinjaman obligasi. Oleh karena itu pemeringkat efek mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan analisa fundamental untuk setiap Obligasi yang diterbitkan. Intinya pemeringkatan efek menekankan pada penilaian kemampuan emiten dalam memenuhi semua kewajibannya.
Setelah gagal bayar, risiko yang mungkin dihadapi adalah capital loss. Capital loss ini menjadi kerugian apabila ditransaksikan. Misalnya membeli pada 100 persen tapi kemudian menjual pada harga 95 persen. Perubahan harga obligasi itu boleh jadi karena perubahan tingkat sukubunga. Jika sukubunga naik sementara bunga obligasi yang dipegang investor tetap, sudah barang tentu harga obligasi itu di pasar sekunder akan mengalami penurunan, dan jika dijual akan berakibat capital loss. Selanjutnya disamping, default, capital loss, kerugian yang mungkin dihadapi investor adalah kemungkinan penerbit obligasi melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo. Istilahnya, Callability atau hak emiten mempunyai hak untuk membeli kembali obligasi yang telah diterbitkan. Obligasi demikian biasanya akan ditarik kembali pada saat suku bunga secara umum menunjukkan kecenderungan menurun. Jadi pemegang obligasi yang memiliki persyaratan callability berpotensi merugi, apabila suku bunga menunjukkan kecenderungan menurun. Tapi kerugian emiten itu akan ter-cover oleh kompensasi premium yang diberikan emiten
Obligasi Konversi
Yang dimaksud dengan Obligasi Konversi adalah obligasi yang dapat dikonversi menjadi saham. Karena sifatnya yang bisa dikonversi itu, obligasi konversi ini biasa juga disebut dengan obligasi tukar. Penukaran saham biasanya dengan prasarat tertentu, misalnya saat jatuh tempo, atau pada harga tertentu. Untuk dicermati dalam obligasi konversi ini adalah kecenderungan harga saham pada saat menjelang obligasi dikonversi. Misalnya ditetapkan harga konversi Rp1.000 per saham, maka pemegang obligasi dengan nilai Rp1 juta akan bisa mengkonversi menjadi 1.000 unit saham.
Kalau pada beberapa waktu sebelum penukaran harga saham di bursa ada pada kisaran Rp 1.100, maka hampir pasti pada saat penukaran pasar akan melakukan koreksi atas harga saham itu menjadi setara dengan harga konversi. Begitu pula sebaliknya, bila harga pasar saham lebih rendah, maka bisa jadi harga pasar dari saham itu akan menyamai harga konversi. Karena itu, harga konversi ini lazimnya disebutkan ketika obligasi tersebut ditawarkan, sehingga sebelum obligasi tersebut jatuh tempo, investor masih bisa menikmati pendapatan yang berupa bunga. Tapi begitu jatuh tempo maka obligasi itu harus ditukar dengan saham sesuai dengan harga yang ditetapkan.
Bagi emiten, obligasi konversi merupakan daya tarik yang ditujukan kepada para investor untuk meningkatkan penjualan obligasi. Di Bursa Efek Indonesia tidak banyak perusahaan yang menerbitkan obligasi dengan sifat konversi ini.
JENIS-JENIS OBLIGASI
JENIS-JENIS OBLIGASI
* Obligasi suku bunga tetap memiliki kupon bunga dengan besaran tetap yang dibayar secara berkala sepanjang masa berlakunya obligasi.
* Obligasi suku bunga mengambang atau biasa juga disebut dengan Floating rate note (FRN) memiliki kupon yang perhitungan besaran bunganya mengacu pada suatu indeks pasar uang seperti LIBOR atau Euribor.
* Junk bond atau “obligasi berimbal hasil tinggi” adalah obligasi yang memiliki peringkat dibahah peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat kredit. Oleh karena obligasi jenis ini memiliki risiko yang cukup tinggi maka investor mengharapkan suatu imbal hasil yang lebih tinggi.* Obligasi tanpa bunga atau lebih dikenal dengan istilah (zero coupon bond) adalah obligasi yang tidak memberikan pembayaran bunga. Obligasi ini diperdagangkan dengan pemberian potongan harga dari nilai pari. Pemegang obligasi menerima secara penuh pokok hutang pada saat jatuh tempo obligasi.
* Obligasi inflasi atau lebih dikenal dengan sebutan (Inflation linked bond), dimana nilai pokok utang pada obligasi tersebut adalah mengacu pada indeks inflasi. Suku bunga pada obligasi jenis ini lebih rendah daripada obligasi suku bunga tetap . Namun dengan bertumbuhnya nilai pokok utang sejalan dengan inflasi, maka pembayaran pelunasan obligasi ini akan meningkat pula. Pada periode tahun 1980an, pemerintah Inggris adalah yang pertama kalinya menerbitkan obligasi jenis ini yang diberi nama Gilts. Di Amerika obligasi jenis ini dikenal dengan nama “Treasury Inflation-Protected Securities” (TIPS) dan I-bonds.
* Obligasi indeks lainnya, adalah surat utang berbasis ekuiti (equity linked note) dan obligasi yang mengacu pada indeks yang merupakan indikator bisnis seperti penghasilan, nilai tambah ataupun pada indeks nasional seperti Produk domestik bruto.
* Efek Beragun Aset adalah obligasi yang pembayaran bunga dan pokok utangnya dijamin oleh acuan berupa arus kas yang diperoleh dari penghasilan aset. Contoh dari obligasi jenis ini adalah Efek beragun KPR (mortgage-backed security-MBS), collateralized mortgage obligation (CMOs) dan collateralized debt obligation (CDOs).
* Obligasi subordinasi obligasi yang memiliki peringkat prioritas lebih rendah dibandingkan obligasi lainnya yang diterbitkan oleh penerbit dalam hal terjadinya likuidasi. Dalam hal terjadinya kepailitan maka ada hirarki dari para kreditur. Pertama adalah pembayaran dari likuidator, kemudaian pembayaran utang pajak, dan lain-lain. Pemegang obligasi yang pembayarannya diutamakan adalah obligasi yang memiliki tanggal penerbitan paling awal yang disebut obligasi senior, setelah obligasi ini dilunasi maka barulah pembayaran pelunasan obligasi subordinasi dilakukan. Oleh karena risikonya lebih tinggi maka obligasi subordinasi ini biasanya memiliki peringkat kredit lebih rendah daripada obligasi senior. Contoh utama dari obligasi subordinasi ini dapat ditemui pada obligasi yang diterbitkan oleh perbankan dan pada Efek Beragun Aset . Penerbitan yang berikutnya umumnya dilakukan dalam bentuk “tranches”[2]. Senior tranches dibayar terlebih dahulu dari tranches subordinasi.
* Obligasi abadi, Obligasi ini tidak memiliki suatu masa jatuh tempo. Obligasi jenis ini yang terkenal dalam pasar obligasi adalah “UK Consols” yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris, atau juga dikenal dengan nama Treasury Annuities atau Undated Treasuries. Beberapa dari obligasi ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1888 dan masih diperdagangkan hingga hari ini. Beberapa obligasi jenis ini juga memiliki masa jatuh tempo yang sangat panjang sekali seperti misalnya perusahaan West Shore Railroad yang menerbitkan obligasi dengan masa jatuh tempo pada tahun 2361 (atau abad ke 24). Terkadang juga obligasi abadi ini dilihat berdasarkan dari nilai tunai obligasi tersebut pada saat ini yang nilai pokoknya mendekati nol.
* Obligasi atas unjuk adalah merupakan sertifikat resmi tanpa nama pemegang dimana siapapun yang memegang obligasi tersebut dapat menuntut dilakukannya pembayaran atas obligasi yang dipegangnya tersebut. Biasanya juga obligasi ini diberi nomer urut dan didaftarkan guna menghindari pemalsuan namun dapat diperdagangkan seperti layaknya uang tunai. Obligasi ini amat berisiko terhadap kehilangan dan kecurian. Obligasi ini sering disalah gunakan untuk menghidari pengenaan pajak.ref>Eason, Yla (June 6, 1983). “Final Surge in Bearer Bonds” New York Times. Para perusahaan di Amerika menghentikan penerbitan obligasi atas unjuk i9ni sejak tahun 1982 dan secara resmi dilarang oleh otoritas perpajakan pada tahun 1983.[3]
* Obligasi tercatat adalah obligasi yang kepemilikannya ataupun peralihannya didaftarkan dan dicatat oleh penerbit atau oleh lembaga administrasi efek. Pembayaran bunga dan pembayaran pokok utang akan dtransfer langsung kepada pemegang obligasi yang namanya tercatat.
* Obligasi daerah atau di Amerika dikenal sebagai (municipal bond) adalah obligasi yang diterbitkan oleh negara bagian, teritorial, kota, pemerintahan setempat, ataupun lembaga-lembaganya. Bunga yang dibayarkan kepada pemegang obligasi seringkali tidak dikenakan pajak oleh negara bagian yang menerbitkan, namun obligasi daerah yang diterbitkan guna suatu tujuan tertentu tetap dikenakan pajak.
* Obligasi tanpa warkat atau lebih dikenal sebagai Book-entry bond adalah suatu obligasi yang tidak memiliki sertifikat, dimana mahalnya biaya pembuatan sertifikat serta kupon mengakibatkan timbulnya obligasi jenis ini. Obligasi ini menggunakan sistem elektronik terpadu yang mendukung penyelesaian transaksi efek secara pemindahbukuan di pasar modal.[4]
* Obligasi lotere atau juga disebut Lottery bond adalah obligasi yang diterbitkan oleh suatu negara (biasanya negara-negara Eropa). Bunganya dibayar seperti tata cara pembayaran bunga pada obligasi suku bunga tetap tetapi penerbit obligasi akan menebus obligasi yang diterbitkannya secara acak pada waktu tertentu dimana penebusan atau pelunasan obligasi yang beruntung terpilih akan dilakukan dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai yang tertera pada obligasi .
* Obligasi perang atau War bond adalah suatu obligasi yang diterbitkan oleh suatu negara guna membiayai perang
Langganan:
Postingan (Atom)