Senin, 15 November 2010

KARAKTERISTIK PASAR MODAL DI INDONESIA

Dalam perjalanannya, pasar modal di tanah air memiliki karakteristik berikut :
a. Dominasi asing
Sudah bukan rahasia lagi bahwa transaksi perdagangan efek di bursa lebih banyak didominasi oleh asing. Sebagai misal, nilai perdagangan saham selama tahun 1998 di BEJ anjlok dari rata-rata Rp 500 miliar menjadi hanya Rp 100 miliar lantaran hengkangnya investor asing.
b. Belum efisien
Pasar modal yang efisien adalah pasar modal dimana harga sekuritas yang diperdagangkan mencerminkan semua informasi yang relevan. Dalam pasar yang efisien, akan sangat sulit bagi pemodal untuk memperoleh keuntungan abnormal.
Penelitian yang dilakukan oleh Suad Husnan (1991) maupun Siddharta Utama (1992) terhadap efisiensi pasar modal di Indonesia terutama di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menyimpulkan bahwa BEJ tidak efisien dalam bentuk lemah (weak form test). Ketidakefisienan tersebut disebabkan oleh kondisi-kondisi yang mendukung efisiensi pasar tidak terpenuhi, ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab ketidakefisienan yaitu: pertama, tingkat likuiditas yang masih rendah dan kedua, belum terbukanya para emiten dalam mengungkapkan informasi yang benar atas perusahaannya (Manajemen dan Usahawan, Nomor 6 Tahun XXI, Juni 1992).
c. ‘Moral Hazard’
Mengambil sedikit contoh, masih terdapat kasus insider information atau cornering. Insider information terjadi dalam transaksi perdagangan saham Super Indah Makmur (1996), Super Mitory Utama (1996), Bank Mashill Utama dan Semen Gresik (1998). Sementara cornering terjadi pada saham Bank Pikko (1997).
d. Celah peraturan dan lemahnya pengawasan otoritas bursa
Mekanisme pengawasan yang dilakukan otoritas bursa terkadang dinilai masih lemah dalam mengatasi berbagai konflik. Konflik yang terjadi, biasanya lebih disebabkan oleh lemahnya regulasi ‘rambu-rambu’ kebebasan pelaku bursa untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Sebagai misal, BEJ tidak melakukan delisting terhadap Inti Indo Rayon Utama yang hampir sembilan bulan tidak beroperasi. Selain itu, tentu kita masih ingat kasus saham yang hilang yang bahkan sampai saat ini masih saja terjadi. Jika pada tahun 1996 saham yang hilang di BEJ baru sebanyak 163.000, tahun 1997 meningkat jumlahnya menjadi 2, 576 juta dan pada 1998 menjadi 30 juta.
e. Investor retail belum optimal
Selama ini, transaksi yang dilakukan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya lebih memperlihatkan gambaran investor yang berduit. Sementara, investor retail hanya punya kemampuan membeli efek dalam jumlah sedikit.
f. Isu lebih dominan ketimbang persuasi otoritas bursa dan penguasa moneter
Di pasar modal manapun, isu jelas berpengaruh terhadap pergerakan indeks. Kendati demikian, pengaruhnya dapat dibandingkan secara relatif.
Di Amerika Serikat, isu dapat ditepis seketika oleh pernyataan pengelola bursa, otoritas moneter, pemerintah maupun kongres. Namun di Indonesia, pernyataan pejabat pemerintah maupun otoritas bursa belum sepenuhnya dipercaya oleh investor. Terkadang, mereka lebih mempercayai isu yang timbul.
Sebagai contoh, harga saham Telkom pernah jatuh pada sekitar bulan Maret 1997 lantaran desas-desus yang mengatakan bahwa pemerintah akan mempersingkat hak monopoli Telkom.
g. Belum ada kontrol efektif terhadap penggunaan dana hasil penjualan saham
Idealnya, dana hasil penjualan saham dipergunakan untuk melakukan ekspansi pada core business, dan bukan untuk melakukan diversifikasi atau malah untuk membayar utang. Hal ini pernah terjadi di tahun 1996 ketika hasil penjualan saham Telkom sebesar US$ 600 juta dipergunakan untuk membayar hutang luar negeri.
h. Risiko relatif tinggi
Kendati JP.Morgan menilai peringkat risiko ekonomi (economic risk) di Indonesia telah turun dari peringkat 87 (tahun 1998) menjadi peringkat 53 (Januari 1999), penurunan peringkat tersebut bukan risiko investasi di Indonesia (termasuk di pasar modal tentunya) menjadi lebih kecil. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan seperti kasus referendum, hutang luar negeri, kemampuan pemerintahan Gus Dur, dsb.
Masih menurut JP.Morgan, rebound perekonomian dari negative growth rate akan terjadi pada penghujung tahun 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar